Disamping itu, ada juga aliran Syiah. WAHABI SALAFI. Aliran Syiah bertentangan dengan Ahlussunnah Wal Jamaah (Aswaja) atau Sunni. Dalam pandangan Sunni, Abu Bakar, bukan Ali bin Abu Thalib, adalah yang pantas menjadi Khalifah pertama yang kemudian diteruskan oleh Umar bin Khattab, Usman bin Affan dan baru Ali bin Abu Thalib sebagai
Membicarakan makna “salaf” tidak hanya terpaku pada satu makna. Sebagaimana yang kita tahu bahwa Bahasa Arab itu memiliki banyak makna dalam satu kata bakunya yang jika dikembangkan ke berbagai wazan, maka artinya pun beda, begitu juga denga perbedaan ini sejak dulu sudah digunakan di Indonesia, contohnya pesantren salafiyah yang berarti metodenya masih menggunakan metode salaf dalam proses menyalurkan pengetahuan, yaitu sorogan dan bandongan atau dalam istilah ilmu hadits yaitu tahammul wal ada’ via qira’ah ala syaikh murid membaca kepada guru atau sima’ min syaikh guru yang membaca dan murid yang mendengarkan.Akhir-akhir ini pula banyak kelompok yang mendakwahkan dirinya sebagai pengikut salafi. Jika ada sebagian orang desa mendengar istilah itu, maka langsung terbersit makna pesantren salafiyah yang tersebar di desa mereka, atau santri-santri pondok tersebut, padahal yang dimaksud bukanlah dari kitab Nazarat fi Jauharatit Tauhid yang disusun oleh Dr Abdul Hamid Ali Izz Al-Arab, Dr Shalah Mahmud Al-Adily, dan Dr Ramadhan Abdul Basith Salim, ketiganya dosen Al-Azhar Mesir, kita perlu membedakan ketiga istilah di atas karena satu di antara tiga istilah itu berbeda dengan yang istilah “Salaf” yaitu para sahabat, tabi’in dan atba’it tabiin yang hidup sampai batas 300 H. Merekalah sebaik-baiknya generasi, sebagaimana termaktub dalam hadits nabi SAW yang diriwayatkan Imam Bukhari dengan sanad dari Abdullah bin Mas’ud dari nabi SAWخَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ، ثُمَّ يَجِئُ قَوْمٌ تَسْبِقُ شَهَادَةُ أَحَدِهِمْ يَمَيْنُهُ وَ يَمَيْنُهُ شَهَادَتُهُArtinya, “Sebaik-baik manusia adalah pada zamanku sahabat, kemudian orang-orang setelah mereka tabi’in, kemudian yang setelahnya lagi atba’it tabi’in, kemudian akan datang suatu kaum yang persaksiannnya mendahului sumpahnya, dan sumpahnya mendahului persaksiannya.”Meskipun definisi mereka sampai batas 300 H, di sini ada catatan penting yaitu keselarasan mereka dengan Al-Quran dan Hadits. Jika hanya hidup pada rentang masa 300 H tetapi kontradiksi dengan kedua pedoman ini, maka tidak disebut sebagai salaf. Salah satu contohnya adalah sekte musyabbihah yang hidup pada masa adalah kelompok tekstualis dalam membaca Al-Quran dan hadits yang meyakini bahwa Allah serupa dengan makhluk-Nya, yaitu memiliki anggota tubuh antara lain bertangan, berkaki, bermulut, bermata, dan “salafi” adalah mereka ulama maupun orang biasa yang datang setelah 300 H dan dinisbahkan pada kaum salaf yang telah disebutkan di atas, juga menganut manhajnya metode. Istilah ini dapat dikaitkan dengan semua orang yang yang mengikuti manhaj salaf, bahkan kita pun bisa, namun itu terjadi jika memang benar-benar perilaku dan manhajnya berdasarkan salaf, bukan hanya menyandang titel salafi tetapi perilakunya adalah salafiyyah yang difondasikan dan disusun oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah 728 H dan muridnya Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah 751H dari Al-Quran, Hadits, perbuatan serta perkataan ulama salaf dan mengodifikasikannya dalam bentuk kitab khusus dan prinsip yang tetap. Unsur-unsur dalam kitab kedua ulama itu memang sudah ada sebelumnya, namun masih berserakan terpisah, kemudian barulah munculah Muhammad bin Abdil Wahhab 1206 H yang menyebarkan apa yang disusun oleh kedua ulama tadi, Ibnu Taimiyyah dan Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah Rahimahumallah di jazirah arab, ia berpegang teguh pada beberapa risalah dan ikhtisar yang dikutip dari kitab-kitab Ibnu dari kitab Nazarat fi Jauharatit Tauhid, terdapat catatan yang menurut saya penting dari perkataan salah seorang peneliti di dalam kitab Al-Fikrul Islamy Al-Hadits karya Dr Abdul Maqshud Abdul Ghani, “Jika kita membandingkan antara pemikiran Muhammad bin Abdul Wahhab dan Ibnu Taimiyyah dalam beberapa masalah akidah hampir keduanya sama dan tidak berbeda, kecuali Ibnu Taimiyyah telah merinci pendapatnya dan menguatkannya dengan dalil-dalil dan hujjah, serta membantah pendapat orang yang berseberangan dengannya dengan dalil dan sanad. Sedangkan Muhamad bin Abdul Wahhab hanya mennyebutkan keterangannya secara singkat saja.”Hal yang menonjol dari ketiganya hanya dari segi waktu dan pijakan dalam berpegang pendapat, jika salafy itu memang orang-orang yang menisbahkan dirinya sebagai pengikut manhaj salaf atau Ahlussunah wal Jamaah, salafiyyah lebih condongnya disebut usaha regenerasi, meskipun dalam beberapa realitanya tidak warga Indonesia, banyak istilah naturalisasi dari bahasa lain yang kita gunakan di kehidupan keseharian secara umum, seperti tadi pondok pesantren salafiyah. Lagi-lagi kita harus mencermati suatu istilah berdasarkan makna, substansi, dan intisarinya. Jangan terpaku pada sisi zahirnya saja. Adakalanya suatu istilah berbeda antara praktik dan substansinya. Wallahu a’lam. Amien Nurhakim
Berbicaratentang "As-Sunnah" secara bahasa dan istilah sangatlah penting. Di samping untuk mengetahui hakikatnya, juga untuk mengeluarkan mereka-mereka yang mengaku sebagai Ahlus Sunnah, padahal bukan. Mendefinisikan "As-Sunnah" ditinjau dari beberapa sisi, yaitu menurut bahasa, syariat dan generasi pertama, ahli hadits, ulama ushulSedangkanmakna salaf sudah dijelaskan tadi. Jadi salafiyun adalah mereka yang meniti jalan beragamanya salaf yaitu dengan selalu mengikuti Al Qur'an dan As Sunnah, juga mereka mendakwahkan Al Qur'an dan As Sunnah dan mereka pun mengamalkan keduanya. Oleh karena itu, salafiyun adalah Ahlus Sunnah wal Jama'ah. Hanya Allah-lah yang memberiAPA PERBEDAAN dari AHLUS SUNNAH WAL’JAMAAH , SALAFY, ASWAJA dan WAHABISM? Bismillah, Ahlus sunnah adalah mereka yang setidaknya faham dan mengamalkan beberapa nash ini Allah Azza wa jall berfirman ”Berpeganglah kamu semua pada tali Allah Al Qur’an dan Sunnah, dan janganlah kamu berpecah belah” Al Qur’an. Surat Ali Imron 103 “ Hai orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah RasulNya dan Ulil Amri diantara kamu, Kemudian jika kamu berlainan/berselisih pendapat tentang sesuatu, maka kembalikan ia kepada Kitabullah Al Qur’an dan Rasul Sunnahnya jika kalian benar2 beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama bagimu dan lebih baik akibatnya.” Al Qur’an. Surat An Nisa’ 59 “Katakanlah , “Inilah jalan ku, aku dan orang-orang yang mengikuti ku menyeru kalian kepada Allah Ta`ala dengan ilmu yang nyata .Maha Suci Allah dan aku tidak termasuk oarng-orang yang musyrik” QS. Yusuf 108 “Wahai orang2 yang beriman, masuklah kamu kedalam Islam secara keseluruhan Total, dan jangan kamu ikuti langkah2 syetan, sesungguhnya ia syetan adalah musuhmu yang nyata” QS. Al Baqoroh ayat 208 Dari Mu’awiah Radhiallahu anhu, ia berkata Rasulullah Shallallaahu alaihi wa sallam berdiri diantara kami lalu bersabda “Ketahuilah bahwa umat sebelum kalian dari golongan ahli kitab berpecah-pecah menjadi 72 firqoh/golongan, dan sesungguhnya umatku sampai dengan hari kiamat nanti akan terpecah menjadi 73 firqoh/golongan, dimana dari 73 golongan ini, yang 72 golongan terancam neraka dan hanya satu golongan yang menjadi ahli surga. Ketika para sahabat bertanya kepada Nabi Shallallahu alaihi Wassalam tentang siapa golongan yang hanya satu itu, Rasulullah menjawab “Al jama’ah, yang aku dan para sahabatku ada diatasnya/berpijak pada sunnahku”. SHAHIH, Riwayat Ahmad, Abu Daud, dishahihkan oleh Al Albani Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda ”Barang siapa yang mengada-adakan sesuatu amalan dalam urusan agama yang bukan datang dari kami Allah dan Rasul-Nya, maka tertolaklah amalnya itu”. SHAHIH, riwayat Muslim Juz 5,133 Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda “Amma ba’du! Maka sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah Kitabullah Al-Qur’an dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Shallallaahu alaihi wa sallam. Dan sejelek-jelek urusan adalah yang baru / yang diada-adakan Muhdast dan setiap yang muhdast adalah bid’ah dan setiap yang bid’ah adalah sesat dan setiap kesesatan tempatnya di neraka” SHAHIH, riwayat Muslim Juz 3, 11, riwayat Ahmad Juz 3, 310, riwayat Ibnu Majah no 45 Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda “Sesungguhnya Syetan telah berputus asa untuk disembah dinegri kalian, tetapi ia senang ditaati menyangkut hal selain itu diantara amal perbuatan yang kalian anggap sepele, maka berhati-hatilah. Sesungguhnya aku telah meninggalkan/mewariskan pada kalian apa2 yang jika kalian berpegang teguh padanya, maka kalian tidak akan sesat selamanya, yaitu kitab Allah dan Sunnah NabiNya” HASAN, riwayat Bukhari, Muslim, Al Hakim, Adz zahabi, Albani Nabi shallallahu alaihi wa sallam membuat garis dgn tangannya, kemudian bersabda, “Inilah jalan Allah yg lurus”, lalu beliau membuat garis2 di kanan dan kirinya kmudian bersabda,”Inilah jalan2 yg sesat, tak satupun jalan2 itu kecuali didalamnya terdapat syaitan yg menyeru kepadanya”.[SHAHIH. HR. Ahmad 1/435, ad Darimi 1/72, al Hakim 2/261, al Lalika’i 1/90. Dishahihkan al Albani dlm Dzilalul Jannah]. Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda “Aku wasiatkan kepada kalian untuk bertakwa kepada Allah, patuh dan taat walaupun dipimpin budak Habasyi, karena siapa yang masih hidup dari kalian maka akan melihat perselisihan yang banyak. Maka berpegang teguhlah kepada sunnahku dan sunnah pada Khulafaur Rasyidin yang memberi petunjuk berpegang teguhlah kepadanya dan gigitlah dia dengan gigi geraham kalian. Dan waspadalah terhadap perkara-perkara yang baru yang diada-adakan kepada hal-hal yang baru itu adalah kebid’ahan dan setiap kebid’ahan adalah kesesatan”. [SHAHIH. Dawud 4608, At-Tirmidziy 2676 dan Ibnu Majah 44,43,Al-Hakim 1/97] “Aku tinggalkan kalian di atas jalan yang putih, malamnya bagaikan siangnya, tidak ada seorang pun sepeninggalku yang berpaling darinya melainkan ia akan binasa….”[SHAHIH. HR Ibnu Majah 1/16 no. 43 dan lain-lain, dari hadits Al-Irbadh bin Sariyah Radhiyallahu anhu. Ini lafazh dalam Sunan Ibnu Majah. Lihat juga As-Silsilah Ash-Shahihah 2/610 no. 937] ☀ ☀☀ SALAFY Inilah dialog antara Syaikh Al-Albani rahimahullah dgn ustadz Abdul Halim Abu Syuqah, pengarang kitab “Tahrirul Mar’ah Fi Ashri Ar-Risalah”. Berkata Asy-Syaikh Albani “Kalau engkau ditanya apa madzhab kamu, apa yang akan kamu katakan ?” Dia menjawab “Muslim” Berkata Asy-Syaikh Ini tidak cukup ! Dia berkata “Sungguh Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menamakan kita kaum muslimin sejak dahulu, lalu dia membacakan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala “Dia Allah telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu” [Al-Hajj 78] Berkata Asy-Syaikh “Ini adalah jawaban yang benar seandainya kita berada di zaman awal sebelum berkembangnya kelompok-kelompok sesat, dan seandainya kita tanyakan -sekarang- setiap muslim dari kelompok-kelompok yang kita berselisih dengannya secara mendasar dalam aqidah, maka tidak akan berbeda jawabannya dari jawaban ini, semuanya mengatakan baik orang Syi’ah Rafidah, Khawarij, Druze, Nushairiy Al-Alawiy Saya Muslim, kalau begitu jawaban itu belum cukup untuk saat-saat ini”. Dia berkata “Kalau begitu saya katakan Saya muslim yang berada di atas Al-Kitab dan As-Sunnah”. Berkata Asy-Syaikh “Ini juga tidak cukup”. Dia berkata “Kenapa ?” Berkata Asy-Syaikh “Apakah kamu dapatkan seorang dari mereka yang telah kita jadikan contoh mengatakan Saya muslim dan saya tidak berada di atas Al-Kitab dan As-Sunnah … maka siapakah yang mengatakan Saya tidak berada di atas Al-Kitab dan As-Sunnah”. Kemudian Syaikh mulai menjelaskan arti penting tambahan yang kami telah tetapkan yaitu Al-Kitab dan As-Sunnah sesuai dengan pemahaman As-Salaf Ash-Shalih. Dia berkata “Kalau begitu saya seorang muslim yang berada di atas Al-Kitab dan As-Sunnah sesuai dengan pemahaman As-Salaf Ash-Shalih”. Berkata Asy-Syaikh “Jika seorang bertanya kepada kamu tentang madzhab kamu, apakah kamu akan menjawab demikian ?” Dia berkata “Ya”. Berkata Asy-Syaikh “Bagaimana pendapat kamu jika kita meringkasnya secara bahasa, karena sebaik-baiknya perkataan adalah yang paling ringkas tetapi mewakili maksudnya, maka kita katakan Salafiy”. Dia berkata “Saya mungkin berbasa-basi kepadamu dan saya katakan Ya, akan tetapi keyakinan saya tetap seperti tadi, karena pertama yang terbesit pada pikiran seseorang ketika mendengar kamu adalah Salafiy adalah hal-hal yang banyak dari kebiasaan berupa sikap-sikap keras yang mengantar kepada kebengisan yang terkadang ada pada Salafiyin orang-orang Salafiy”. Berkata Asy-Syaikh “Anggaplah ucapanmu itu benar. Jika kamu katakan Saya muslim, tidak akan terpahami kamu seorang Syi’ah Rafidah atau Druziyah atau Ismailiyah..?” Dia berkata “Mungkin saja akan tetapi saya telah mengikuti ayat yang mulia “Dia Allah telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu” [Al-Hajj 78]” Berkata Asy-Syaikh “Tidak wahai saudaraku ! sesungguhnya kamu tidak mengikuti ayat tersebut, karena ayat tersebut bermakna Islam yang benar, sepatutnyalah diajak bicara orang-orang sesuai dengan akalnya … apakah ada seorang yang memahami dari kamu bahwa kamu muslim dengan makna yang ada di ayat tersebut ? Adapun hal-hal yang jelek yang telah kamu sebutkan tadi adakalanya benar atau tidak benar, karena perkataan kamu keras, adakalanya pada sebagian pribadi-pribadi saja dan bukan seperti manhaj ilmiyah yang diyakini, maka tinggalkanlah pribadi-pribadi tersebut. karena kita berbicara tentang manhaj dan karena kalau kita katakan Syi’iy, Driziy, Khorijiy, Shufi atau Mu’taziliy akan masuk juga kepada hal-hal buruk yang telah kamu sebutkan. Kalau begitu hal itu diluar pembahasan kita, karena kita membahas tentang nama yang menunjukkan madzhab yang dipegangi oleh seorang manusia”. Kemudian Syaikh berkata “Bukankah parasahabat semuanya muslim ?” Dia menjawab “Tentu.” Berkata Asy-Syaikh “Akan tetapi ada dari mereka yang mencuri dan berzina, dan ini tidak diperbolehkan seorangpun mengatakan Saya bukan seorang muslim, akan tetapi dia masih seorang muslim yang beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya seperti satu manhaj, akan tetapi dia terkadang menyelisihi manhajnya, karena dia tidak maksum. Oleh karena itu, kita -semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberkati kamu- berbicara tentang kata yang menunjukkan aqidah, pemikiran dan pedoman kita dalam kehidupan dalam hal yang berhubungan dengan perkara agama yang kita beribadah denganya. Adapun fulan keras atau sebaliknya lemah adalah perkara lain”. Kemudian berkata Asy-Syaikh “Saya ingin kamu renungkan kata yang singkat ini sampai kamu tidak tetap terus berada pada kata muslim sedangkan kamu tahu tidak ada seorangpun yang memahami darimu apa yang kamu inginkan darinya, maka kalau begitu berbicaralah kepada manusia sesuai dengan kemampuan akal mereka”. Barakallahu laka fi Talbiyika. Disalin dari Kitab Limadza Ikhtartu Al-Manhaj As-Salafy, edisi Indonesia Mengapa Memilih Manhaj Salaf Studi Kritis Solusi Problematika Umat oleh Syaikh Abu Usamah Salim bin Ied Al-Hilaly ☀ ☀☀ ASY’ARIYAH mazhab Asy’ari atau ASWAJA [ Tidak termasuk Ahlus Sunnah Wal Jama’ah ] Ada TIGA FASE keyakinan yang al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari lalui, yaitu »̶>❥Fase pertama bersama Mu’tazilah, »̶>❥Fase kedua bersama Kullabiyah, »̶>❥Dan TERAKHIR bersama Salafiyah Ahlus Sunnah wal Jamaah setelah mendapatkan hidayah dari ar-Rahman. ADAPUN, Asy’ariyah / Mazhab Asy’ari / ASWAJA, tiada lain adalah KELANJUTAN DARI mazhab KULLABIYAH, yang TELAH DITINGGALKAN oleh al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari sendiri. Bahkan, dengan tegas Beliau menyatakan bahwa beliau berada di atas jalan Rasulullah dan as-salafush shalih, sejalan dengan al-Imam Ahmad bin Muhammad bin Hanbal , dan menyelisihi siapa saja yang berseberangan dengan beliau [7]. Rujukan Napak Tilas Perjalanan Hidup al-Imam Abul Hasan Al-asy’ari ditulis oleh Al-Ustadz Ruwaifi bin Sulaimi, Lc. ♧♧♧♧♧♧ Ulama yang menyatakan bahwa Asy’ariyah ASWAJA_pen, BUKAN AHLUS SUNNAH 1. Al-Imam Ahmad bin Hambal rahimahullahu Ibnu Khuzaimah rahimahullahu ditanya oleh Abu Ali Ats-Tsaqafi “Apa yang kau ingkari, wahai ustadz, dari madzhab kami supaya kami bisa rujuk darinya?” Ibnu Khuzaimah berkata “Karena kalian condong kepada pemahaman Kullabiyah. Ahmad bin Hanbal termasuk orang yang paling keras terhadap Abdullah bin Said bin Kullab dan teman-temannya, seperti Harits serta lainnya.” Perlu diketahui bahwa Kullabiyah adalah masyayikh guru/pembesar Asy’ariyah. Ibnu Taimiyah rahimahullahu berkata “Kullabiyah adalah guru-guru orang Asy’ariyah….”Kitab Istiqamah 2. Ibnu Qudamah rahimahullahu Beliau rahimahullahu berkata “Kami tidak mengetahui ada kelompok ahlul bid’ah yang menyembunyikan pemikiran-pemikirannya dan tidak berani menampakkannya, selain zanadiqah kaum zindiq, orang-orang yang menyembunyikan kekafiran dan menampakkan keimanan, red. dan Asy’ariyah.” 3. Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Utsaimin rahimahullahu Beliau berkata “Asya’irah dan Maturidiyah serta yang semisal mereka, bukanlah Ahlus Sunnah wal Jamaah.” 4. Syaikh Shalih Al-Fauzan pernah ditanya “Apakah Asy’ariyah dan Maturidiyah termasuk Ahlus Sunnah?” Beliau menjawab “Mereka tidak teranggap sebagai Ahlus Sunnah. Tidak ada seorang pun yang memasukkan mereka ke dalam Ahlus Sunnah wal Jamaah. Mereka memang menamakan diri mereka termasuk Ahlus Sunnah, namun hakikatnya mereka bukanlah Ahlus Sunnah.” Lihat Takidat Musallamat Salafiyah hal. 19-30 Rujukan Sufi Adalah Pengikut Firqah Asy’ariah Ditulis Oleh Al-Ustadz Abu Abdillah Abdurrahman Mubarak ♧♧♧♧♧♧ Dalam daurah Syar’iyyah Fi Masail Aqa’idiyyah Wal Manhajiyyah di Surabaya, dua tahun yang lalu, Syaikh Salim ditanya Apakah Al Asy’ariyyah termasuk Ahlu Sunnah Wal Jama’ah? Beliau menjawab dengan tegas “Al Asy’ariyyah tidak termasuk Ahlu Sunnah Wal Jama’ah.” Dinukil dr [Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun VNina FemI/1425H/2004M Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296] Footnote [7] Perlu diketahui, mazhab Asy’ari atau ASWAJA atau Kullabiyah, semuanya berseberangan dengan prinsip yang diyakini oleh al-Imam Ahmad bin Muhammad bin Hanbal . Dengan demikian, berseberangan pula dengan prinsip yang diyakini oleh al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari . Tajuddin as-Subki —seorang tokoh mazhab Syafi’i—berkata, “Abul Hasan al-Asy’ari adalah tokoh besar Ahlus Sunnah setelah al-Imam Ahmad bin Hanbal. Akidah beliau adalah akidah al-Imam Ahmad , tiada keraguan dan kebimbangan padanya. Inilah yang ditegaskan berkali-kali oleh Abul Hasan al-Asy’ari dalam beberapa karya tulis beliau.” Thabaqat asy-Syafi’iyyah al-Kubra 4/236 ====== Catatan 1> Apa itu madzab Kullabiyah ? lihat di 2> Apa itu Mu’tazilah ? lihat di »̶˚♧♧°̶ Lihat ☀ ☀☀ Adapun Wahabi adalah sebutan “tuduhan” bagi mereka2 berpegang teguh pada as sunnah dan memerangi syirik sebagaimana dakwah yang di canangkan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab yang mana dakwah beliau adalah memurnikan Islam yang “Anti Syirik” dan “Anti Bid’ah”. Sebutan tuduhan “wahabi” ini di prakarsai oleh musuh2 dakwah tauhid yang mana mereka adalah “Ahlul bid’ah” dan”Ahlusy Syirik” SIAPA PENCETUS PERTAMA ISTILAH WAHHABI? Suatu hal yang jelas bahwa Inggris merupakan negara barat pertama yang cukup interest menggelari dakwah ini dengan “Wahhabisme”, alasannya karena dakwah ini mencapai wilayah koloni Inggris yang paling berharga, yaitu India. Banyak ulamâ` di India yang memeluk dan menyokong dakwah Imâm Ibn Abdil Wahhâb. Juga, Inggris menyaksikan bahwa dakwah ini tumbuh subur berkembang dimana para pengikutnya telah mencakup sekelompok ulamâ` ternama di penjuru dunia Islâm. Selama masa itu, Inggris juga mengasuh sekte Qâdhiyânî dalam rangka untuk mengganti mainstream ideologi Islam. [Lihat Dr. Muhammâd ibn Sa’d asy-Syuwai’ir, Tashhîh Khathâ’ Târîkhî Haula`l Wahhâbiyyah, Riyâdh Dârul Habîb 2000; hal. 55]. Mereka berhasrat untuk memperluas wilayah kekuasaan mereka di India dengan mengandalkan sebuah sekte ciptaan mereka sendiri, Qâdhiyânî, yaitu sekte yang diciptakan, diasuh dan dilindungi oleh Inggris. Sekte yang tidak menyeru jihad untuk mengusir kolonial Inggris yang berdiam di India. Oleh karena itulah, ketika dakwah Imâm Ibn Abdil Wahhâb mulai menyebar di India, dan dengannya datanglah slogan jihad melawan penjajah asing, Inggris menjadi semakin resah. Mereka pun menggelari dakwah ini dan para pengikutnya sebagai Wahhâbi’ dalam rangka untuk mengecilkan hati kaum muslimin di India yang ingin turut bergabung dengannya, dengan harapan perlawanan terhadap penjajah Inggris tidak akan menguat kembali.* Banyak Ulamâ` yang mendukung dakwah ini ditindas, beberapa dibunuh dan lainnya dipenjara.** Catatan * Hunter dalam bukunya yang berjudul “The Indian Musalmans” mencatat bahwa selama pemberontakan orang India tahun 1867, Inggris paling menakuti kebangkitan muslim Wahhâbi’ yang tengah bangkit menentang Inggris. Hunter menyatakan di dalam bukunya bahwa “There is no fear to the British in India except from the Wahhabis, for they are causing disturbances againts them, and agitating the people under the name of jihaad to throw away the yoke of disobedience to the British and their authority.” [“Tidak ada ketakutan bagi Inggris di India melainkan terhadap kaum Wahhâbi, karena merekalah yang menyebabkan kerusuhan dalam rangka menentang Inggris dan mengagitasi membangkitkan semangat umat dengan atas nama jihâd untuk memusnahkan penindasan akibat dari ketidaktundukan kepada Inggris dan kekuasaan mereka.”] Lihat Hunter, “The Indian Musalmans”, di London Trűbner and Co., 1871; Calcuta Comrade Publishers, 1945, 2nd edn.; New Delhi Rupa & Co., 2002 Reprint ** Di Bengal selama masa ini, banyak kaum muslimin termasuk tua, muda dan para wanita, semuanya disebut dengan “Wahhâbi” dan dianggap sebagai “pemberontak” yang melawan Inggris kemudian digantung pada tahun 1863-1864. Mereka yang dipenjarakan di Pulau Andaman dan disiksa adalah para ulama dari komunitas Salafî-Ahlul Hadîts, seperti Syaikh Ja’far Tsanisârî, Syaikh Yahyâ Alî 1828-1868, Syaikh Ahmad Abdullâh 1808-1881, Syaikh Nadzîr Husain ad-Dihlawî dan masih banyak lagi lainnya. Muhammad Ja’far, Târikhul Ajîb dan Târikhul Ajîb – History of Port Blair Nawalkshore Press, 1892, 2nd edition. Suatu hal yang perlu dicatat, di dalam surat-surat dan laporan-laporan yang dikirimkan kepada ayah tirinya dan pemerintahan Utsmâniyyah Ottomans, Ibrâhîm Basyâ Pasha, anak angkat Muhammad Alî Basyâ Pasha, juga menggunakan istilah Wahhâbi, Khowârij dan Bid’ah Heretics’ untuk menggambarkan dakwah Muhammad Ibn Abdul Wahhâb dan Negara Saudî [Lihat ibid, hal. 70]. Hal ini, tentu saja, terjadi sebelum Ibrâhîm Basyâ memberontak dan menyerang khilâfah Utsmâniyyah dan hampir saja menghancurkannya di dalam proses pemberontakannya. Dr. Nâshir Tuwaim mengatakan “Kaum Orientalis terdahulu, menggunakan istilah Wahhâbiyyah, Wahhâbî, Wahhâbis’ di dalam artikel-artikel dan buku-buku mereka untuk menyandarkan menisbatkan istilah ini kepada gerakan dan pengikut Syaikh Muhammad Ibn Abdul Wahhâb. Beberapa diantara mereka bahkan memperluasnya dengan memasukkan istilah ini sebagai judul buku mereka, semisal Burckhardt, Brydges dan Cooper, atau sebagai judul artikel mereka, seperti Wilfred Blunt, Margoliouth, Samuel Zwemer, Thomas Patrick Hughes, Samalley dan George Rentz. Mereka melakukan hal ini walaupun sebagian dari mereka mengakui bahwa musuh-musuh dakwah ini menggunakan istilah ini untuk menggambarkannya, padahal para pengikut Syaikh Muhammad Ibn Abdul Wahhâb tidak menyandarkan diri mereka kepada istilah ini. * Margoliouth sebagai contohnya, ia mengaku bahwa istilah Wahhâbiyyah” digunakan oleh musuh-musuh dakwah selama masa hidup pendiri’-nya, kemudian digunakan secara bebas oleh orang-orang Eropa. Walau demikian, ia menyatakan bahwa istilah ini tidak digunakan oleh para pengikut dakwah ini di Jazîrah Arab. Bahkan, mereka menyebut diri mereka sendiri sebagai “Muwahhidŭn”. [ Margoliouth, Wahabiya, hal. 618, 108. Artikel karya Margoliouth yang berjudul Wahhabis’ ini juga dapat ditemukan di dalam The First Encyclopaedia of Islam, 1913-1936 New York Brill, 1987 Reprint , karya Houtsma, Arnold, R. Basset, R. Hartman, Wensinck, Gibb, W. Heffening dan E. Lêvi-Provençal ed dan The Shorter Encyclopaedia of Islam Leiden and London Brill and Luzac & Co., 1960, hal. 619 karya Gibb, Kramers dan E. Lêvi-Provençal ed. Artikel ini juga dicetak ulang dalam o Reading, UK Ithaca Press, 1974 o Leiden Brill, 1997 o Dan cetakan pertama, Leiden and London Bril and Luzac & Co., dan New York Cornel University Press, 1953.] * Thomas Patrick Hughes menggambarkan “Wahhâbiyyah” sebagai gerakan reformis Islâm yang didirikan oleh Muhammad Ibn Abdul Wahhâb, yang menyatakan bahwa musuh-musuh mereka tidak mau menyebut mereka sebagai “Muhammadiyyah” Muhammadans, malahan, mereka menyebutnya sebagai Wahhâbî’, sebuah nama setelah namanya ayahnya Syaikh… [Thomas Patrick Huges, Dictionary of Islam, hal. 59]. * George Rentz mengatakan bahwa istilah Wahhâbî’ digunakan untuk mengambarkan para pengikut Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhâb oleh musuh-musuh mereka sebagai ejekan bahwa Syaikh mendirikan sebuah sekte baru yang harus dihentikan dan aqidahnya ditentang. Mereka yang disebut dengan sebutan Wahhâbî’ ini beranggapan bahwa Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhâb hanyalah seorang pengikut Sunnah, oleh karena itulah mereka menolak istilah ini dan bahkan menuntut agar dakwah beliau disebut dengan ad-Da’wah ila’t Tauhîd’, dimana istilah yang tepat untuk menggambarkan para pengikutnya adalah Muwahhidŭn’… [George Rentz dan Arberry, The Wahhabis in Religion in The Middle East Three Religion in Concord and Conflict, Cambridge Cambridge University Press, 1969, hal. 270]. Rentz juga mengatakan bahwa, para penulis barat ketika menggunakan istilah Wahhâbî’ adalah dengan maksud ejekan, ia juga menyatakan bahwa ia menggunakan istilah itu sebagai klarifikasi. [Lihat Nâshir ibn Ibrâhîm ibn Abdullâh Tuwaim, Asy-Syaikh Muhammad ibn Abd`ul Wahhâb Hayâtuhu wa Da’watuhu fi`r Ru`yâ al-Istisyrâqiyya Dirôsah Naqdîyyah Riyadh Kementerian Urusan Keislaman, Pusat Penelitian dan Studi Islam, 1423/2003 hal. 86-7. Buku ini juga dapat dilihat secara online di . Biar bagaimanapun, siapa saja yang menggunakan istilah ini , baik dari masa lalu sampai saat ini, telah melakukan beberapa kesalahan, diantaranya * Mereka menyebut dakwah Muhammad bin Abdul Wahhâb sebagai Wahhâbiyyah’, walaupun dakwah ini tidak dimulai oleh Abdul Wahhâb, namun oleh puteranya Muhammad. * Pada awalnya, Abdul Wahhâb tidak menyetujui dakwah puteranya dan menyanggah beberapa ajaran puteranya. Walau demikian, tampak pada akhir kehidupannya bahwa beliau akhirnya menyetujui dakwah puteranya. Semoga Alloh merahmatinya. Musuh-musuh dakwah, tidak menyebut dakwah ini dengan sebutan Muhammadiyyah –terutama semenjak Muhammad, bukan ayahnya, Abdul Wahhâb, memulai dakwah ini- karena dengan menyebutkan kata ini, Muhammad, mereka bisa mendapatkan simpati dan dukungan dakwah, ketimbang permusuhan dan penolakan. Istilah “Wahhâbi”, dimaksudkan sebagai ejekan dan untuk meyakinkan kaum muslimin supaya tidak mengambil ilmu atau menerima dakwah Muhammad ibn Abdul Wahhâb, yang telah digelari oleh mereka sebagai mubtadi’ ahli bid’ah yang tidak mencintai Rasulullâh Shallâllâhu alaihi wa Sallam. Walaupun demikian, penggunaan istilah ini telah menjadi sinonim dengan seruan dakwah untuk berpegang al-Qur`ân dan as-Sunnah dan suatu indikasi memiliki penghormatan yang luar biasa terhadap salaf, yang berdakwah untuk mentauhîdkan Allôh semata serta memerintahkan untuk mentaati semua perintah Rasulullâh Shallâllâhu alaihi wa Sallam. Hal ini adalah kebalikan dari apa yang dikehendaki oleh musuh-musuh dakwah. [Lihat Qodhî Ahmad ibn Hajar Alu Abŭthâmi al-Bŭthâmi, Syaikh Muhammad Ibn Abdul Wahhâb His Salafî Creed and Reformist Movement, hal. 66]. Pada belakang hari, banyak musuh-musuh dakwah Imam Muhammad Ibn Abdul Wahhâb akhirnya menjadi kagum terhadap dakwah dan memahami esensi dakwahnya yang sebenarnya, melalui membaca buku-buku dan karya-karyanya. Mereka mempelajari bahwa dakwah ini adalah dakwah Islam yang murni dan terang, yang Alloh mengutus semua Nabi-Nya alaihim`us Salâm untuknya untuk dakwah tauhîd ini. Menggunakan istilah Wahhâbiyyah’ ini, tidak akan menghentikan penyebaran dakwah ini ke seluruh penjuru dunia. Bahkan pada kenyataannya, walaupun berada di tengah-tengah dunia barat, banyak kaum muslimin yang mempraktekkan Islam murni ini, yang mana Imâm Muhammad Ibn Abdul Wahhâb secara antusias mendakwahkannya dan menjadikannya sebagai misi dakwah beliau. Semua ini disebabkan karena tidak ada seorangpun yang dapat mengalahkan al-Qur`ân dan as-Sunnah, tidak peduli sekuat apapun seseorang itu. Perlu dicatat pula, bahwa diantara karakteristik mereka yang berdakwah kepada tauhîd adalah, adanya penghormatan yang sangat besar terhadap al-Qur`ân dan sunnah Nabi. Mereka dikenal sebagai kaum yang mendakwahkan untuk berpegang kuat dengan hukum Islam, memurnikan tashfiyah dan mendidik tarbiyah bahwa peribadatan hanya milik Allôh semata serta memberikan respek terhadap para sahabat nabî dan para ulamâ` Islâm. Mereka adalah kaum yang dikenal sebagai orang yang lebih berilmu di dalam masalah ilmu Islam secara mendetail daripada kebanyakan orang selain mereka. Telah menjadi suatu pengetahuan umum bahwa dimana saja ada seorang salafî bermukim, kelas-kelas yang mengajarkan ilmu sunnah tumbuh subur. Sekiranya istilah “Wahhâbî” ini digunakan untuk para pengikut dakwah, bahkan sekalipun dimaksudkan untuk mengecilkan hati ummat agar tidak mau menerima dakwah mereka, tetaplah salah baik dulu maupun sekarang, menyebut dakwah ini dengan sebutan “Wahhâbiyyah”. Imâm Muhammad ibn Abdul Wahhâb berdakwah menyeru kepada jalan Rasulullâh Shallâllâhu alaihi wa Sallam dan para sahabat nabi, beliau tidak berdakwah menyeru kaum muslimin supaya menjadi pengikutnya. Dakwah beliau bukanlah sebuah aliran/sekte baru, namun dakwah beliau adalah kesinambungan warisan dakwah yang dimulai dari generasi pertama Islam dan mereka yang mengikuti jalan mereka dengan lebih baik. Dalihbahasakan oleh Abŭ Salmâ al-Atsarî dari Jalâl Abŭ Alrub dan Alâ Mencke ed., Biography and Mission of Muhammad Ibn Abdul Wahhâb Orlando, Florida Madinah Publisher, 1424/2003, hal. 677-81. Dengan tambahan catatan oleh Salafimanhaj Research, Who First Used The Term “Wahhabi”? ☀ ☀☀☀☀☀ ☀ Tanya JBS Asslamualaikum, Afwan,untuk ASWAJA apakah itu harus ditinggalkan ? Tolong penjelasannya Jawab Abu Ayaz JBS afwan, utk menjawab pertanyaan antum itu, butuh penjelasan yang panjang sekali agar antum faham rincian2nya. Namun intinya, jika antum tidak mau di katakan sebagai ahlul bid’ah dan ahlul syirik sebab ASWAJA melakukan banyak sekali bid’ah dan mereka tawasul di kuburan orang2 yang mereka anggap wali , dan antum tidak mau dikatakan mengingkari bahwa Allah ada diatas langit sebagaimana hadits yang shahih, maka tinggalkanlah pemahaman ASWAJA ini. Namun dalam hal ini tidak ada paksaan. Semoga Allah memberi antum hidayah. Allahu yahdik wa hadaanallahu. ___ Jawab Abu Nabilah Mungkin bisa ana tambahkan … Mengenal Sejarah dan Pemahaman Ahlussunnah wal Jamaah Rabu, 27 Agustus 2003 – 024358 kategori Manhaj Penulis Majalah Salafy Edisi Perdana/Syaban/1416 . . Sebelum kita berbicara tentang topik dan judul pembahasan ini, sebaiknya kita mengenal beberapa pengertian istilah yang akan dipakai dalam pembahasan ini. A. Beberapa Pengertian 1. As-Sunnah As-Sunnah ialah jalan yang ditempuh atau cara pelaksanaan suatu amalan baik itu dalam perkara kebaikan maupun perkara kejelekan. Maka As-Sunnah yang dimaksud dalam istilah Ahlus Sunnah ialah jalan yang ditempuh dan dilaksanakan oleh Rasulullah salallahu alaihi wa sallam serta para shahabat beliau, dan pengertian Ahlus Sunnah ialah orang-orang yang berupaya memahami dan mengamalkan As-Sunnah An-Nabawiyyah serta menyebarkan dan membelanya. 2. Al-Jama’ah Menurut bahasa Arab pengertiannya ialah dari kata Al-Jamu’ dengan arti mengumpulkan yang tercerai berai. Adapun dalam pengertian Asyari’ah, Al-Jama’ah ialah orang-orang yang telah sepakat berpegang dengan kebenaran yang pasti sebagaimana tertera dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits dan mereka itu ialah para shahabat, tabi’in yakni orang-orang yang belajar dari shahabat dalam pemahaman dan pengambilan Islam walaupun jumlah mereka sedikit, sebagaimana pernyataan Ibnu Mas’ud radhiallahu anhu “Al-Jama’ah itu ialah apa saja yang mencocoki kebenaran, walaupun engkau sendirian dalam mencocoki kebenaran itu. Maka kamu seorang adalah Al-Jama’ah.” 3. Al-Bid’ah Segala sesuatu yang baru dan belum pernah ada asal muasalnya dan tidak biasa dikenali. Istilah ini sangat dikenal dkialangan shahabat Nabi Rasulullah salallahu alaihi wa sallam karena beliau selalu menyebutnya sebagai ancaman terhadap kemurnian agama Allah, dan diulang-ulang penyebutannya pada setiap hendak membuka khutbah. Jadi secara bahasa Arab, bid’ah itu bisa jadi sesuatu yang baik atau bisa juga sesuatu yang jelek. Sedangkan dalam pengertian syari’ah, bid’ah itu semuanya jelek dan sesat serta tidak ada yang baik. Maka pengertian bid’ah dalam syariah ialah cara pengenalan agama yang baru dibuat dengan menyerupai syariah dan dimaksudkan dengan bid’ah tersebut agar bisa beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala lebih baik lagi dari apa yang ditetapkan oleh syari’ah-Nya. Keyakinan demikian ditegakkan tidak di atas dalil yang shahih, tetapi hanya berdasar atas perasaan, anggapan atau dugaan. Bid’ah semacam ini terjadi dalam perkara aqidah, pemahaman maupun amalan. 4. As-Salaf Arti salaf secara bahasa adalah pendahulu bagi suatu generasi. Sedangkan dalam istilah syariah Islamiyah as-salaf itu ialah orang-orang pertama yang memahami, mengimami, memperjuangkan serta mengajarkan Islam yang diambil langsung dari shahabat Nabi salallahu alaihi wa sallam, para tabi’in kaum mukminin yang mengambil ilmu dan pemahaman/murid dari para shahabat dan para tabi’it tabi’in kaum mukminin yang mengambil ilmu dan pemahaman/murid dari tabi’in. istilah yang lebih lengkap bagi mereka ini ialah as-salafus shalih. Selanjutnya pemahaman as-salafus shalih terhadap Al-Qur’an dan Al-Hadits dinamakan as-salafiyah. Sedangkan orang Islam yang ikut pemahaman ini dinamakan salafi. Demikian pula dakwah kepada pemahaman ini dinamakan dakwah salafiyyah. 5. Al-Khalaf Suatu golongan dari ummat Islam yang mengambil fislafat sebagai patokan amalan agama dan mereka ini meninggalkan jalannya as-salaf dalam memahami Al-Qur’an dan Al-Hadits. Awal mula timbulnya istilah Ahlus Sunnah wal Jama’ah tidak diketahui secara pasti kapan dan dimana munculnya karena sesungguhnya istilah Ahlus Sunnah wal Jama’ah mulai depopulerkan oleh para ulama salaf ketika semakin mewabahnya berbagai bid’ah dikalangan ummat Islam. Yang jelas wabah bid’ah itu mulai berjangkit pada jamannya tabi’in dan jaman tabi’in ini yang bersuasana demikian dimulai di jaman khalifah Ali bin Abi Thalib radhiallahu anhu. Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Kitab Shahihnya juz 1 Syarah Imam Nawawi bab Bayan Amal Isnad Minad Din dengan sanadnya yang shahih bahwa Muhammad bin Sirrin menyatakan, “Dulu para shahabat tidak pernah menanyakan tentang isnad urut-urutan sumber riwayat ketika membawakan hadits Nabi salallahu alaihi wa sallam. Maka ketika terjadi fitnah yakni bid’ah mereka menanyakan, sebutkan para periwayat yang menyampaikan kepadamu hadits tersebut.’ Dengan cara demikian mereka dapat memeriksa masing-masing para periwayat tersebut, apakah mereka itu dari ahlus sunnah atau ahlul bid’ah. Bila dari ahlus sunnah diambil dan bila ahlul bid’ah ditolak.” Riwayat yang sama juga dibawakan oleh Khalid Al-Baghdadi dengan sanadnya dalam kitab beliau. Riwayat ini memberitahukan kepada kita bahwa pada jaman Muhammad bin Sirrin sudah ada istilah ahlus sunnah dan ahlul bid’ah. Muhammad bin Sirrin lahir pada tahun 33 H dan meniggal pada tahun 110 H. kemudian istilah ini juga muncul pada jaman Imam Ahmad bin Hambal lahir 164 dan meninggal 241 H khususnya ketika terjadi fitnah pemahaman sesat yang menyatakan bahwa Al-Qur’an itu makhluk, bertentangan dengan ahlus sunnah yang menyatakan bahwa Al-Qur’an itu Kalamullah. Fitnah terjadi di jaman pemerintahan Khalifah Al-Ma’mun Al-Abbasi. Imam Ahmad pada masa fitnah ini adalah termasuk tokoh yang paling berat mendapat sasaran permusuhan dan kekejaman para tokoh ahlul bid’ah melalui Khalifah tersebut. Mulai saat itulah istilah ahlus sunnah wal jama’ah menjadi sangat populer hingga kini. Jadi, istilah ahlu sunnah timbul dan menjadi populer ketika mulai serunya pergulatan antara as-salaf dan al-khalaf, akibat adanya infiltrasi berbagai filsafat asing ke dalam masyarakat Islam. Ahlus Sunnah wal Jama’ah kemudian menjadi simbol sikap istiqamahnya tegarnya para ulama ahlul hadits dalam berpegang dengan as-salafiyah ketika para tokoh ahlul bid’ah meninggalkannya dan ketika berbagai pemahaman dan amalan bid’ah mendominasi masyarakat Islam. B. Dalil-Dalil Ahlus Sunnah wal Jama’ah Mengapa ahlu sunnah demikian bersikeras merujuk pada pemahaman para shahabat Nabi salallahu alaihi wa sallam dalam memahami Al-Qur’an dan Al-Hadits? Ini adalah pertanyaan yang tentunya membutuhkan dalil-dalil Al-Qur’an dan Al-Hadits untuk menjawabnya. Ahlus Sunnah merujuk kepada para shahabat dalam memahami Al-Qur’an dan Al-Hadits dikarenakan Allah dan Rasul-Nya banyak sekali memberitahukan kemuliaan mereka, bahkan memujinya. Faktor ini membuat para shahabat menjadi acuan terpercaya dalam memahami Al-Qur’an dan Al-Hadits sebagai landasan utama bagi Syari’ah Islamiyah. Dalil dari Al-Qur’an dan Al-Hadits shahih yang menjadi pegangan ahlus sunnah dalam merujuk kepada pemahaman shahabat sangat banyak sehingga tidak mungkin semuanya dimuat dalam tulisan yang singkat ini. Sebagian diantaranya perlu saya tulis disini sebagai gambaran singkat bagi pembaca tentang betapa kokohnya landasan pemahaman ahlus sunnah terhadap syariah ini. 1. Para shahabat Nabi salallahu alaihi wa sallam adalah kecintaan Allah dan mereka pun sangat cinta kepada Allah “Sesungguhnya Allah telah ridha kepada orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu Hai Muhammad di bawah pohon yakni Baitur Ridwan maka Allah mengetahui apa yang ada di dalam hati mereka lalu menurunkan keterangan atas mereka dan memberi balasan atas mereka dengan kemenangan yang dekat waktunya.Al-Fath18 Ayat ini menerangkan bahwa Allah telah ridha kepada para shahabat yang turut membaiat Rasulullah salallahu alaihi wa sallam di Hudhaibiyyah sebagai tanda bahwa mereka telah siap taat kepada beliau dalam memerangi kufar kaum kafir Quraisy dan tidak lari dari medan perang. Diriwayatkan bahwa yang ikut ba’iah tersebut seribu empat ratus orang. Dalam ayat lain, Allah Sunahanahu wa Ta’ala berfirman “Hai orang-orang yang beriman, siapa di antara kalian yang murtad dari agama-Nya yakni keluar dari Islam niscaya Allah akan datangkan suatu kaum yang Ia mencintai mereka dan mereka mencintai Allah, bersikap lemah lembut terhadap kaum mukminin dan bersikap keras terhadap orang-orang kafir, mereka berjihad di jalan Alah dan tidak takut cercaan si pencerca. Yang demikian itu adalah keutamaan dari Allah yang diberikan kepada siapa saja yang Ia kehendaki dan Allah itu Maha Mendengar dan Maha Mengetahui.”Al-Maidah54 Ath-Thabari membawakan beberapa riwayat tentang tafsir ayat ini antara lain yang beliau nukilkan dari beberapa riwayat dengan jalannya masin-masing, bahwa Al-Hasan Al-Basri, Adh-Dhahadh, Qatadah, Ibnu Juraij, menyatakan bahwa yang dimaksud dengan ayat ini adalah Abu Bakar Ash-Shidiq dan segenap shahabat Nabi setelah wafatnya Rasulullah salallahu alaihi wa sallam dalam memerangi orang yang murtad. 3. Para shahabat adalah teladan utama setelah Nabi dalam beriman Ditegaskan dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala “Kalau mereka itu beriman seperti imannya kalian yaitu kaum mukminin terhadapnya, maka sungguh mereka itu mendapatkan perunjuk dan kalau mereka berpaling mereka itu dalam perpecahan. Maka cukuplah Allah bagimu hai Muhammad terhadap mereka dan Dia Maha Mendengar dan Maha Mengetahui.”Al-Baqarah137 Ayat ini menegaskan bahwa imannya kaum mukminin itu adalah patokan bagi suatu kaum untuk mendapat petunjuk Allah. Kaum mukminin yang dimaksud yang paling mencocoki kebenaran sebagaimana yang dibawa oleh Nabi salallahu alaihi wa sallam tidak lain ialah para shahabat Nabi yang paling utama dan generasi sesudahnya yang mengikuti mereka. Juga ditegaskan pula hal ini oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam Surat Al-Fath 29 “Muhammad itu adalah Rasulullah, dan orang-orang yang besertanya keras terhadap orang-orang kafir, berkasih sayang sesama mereka. Engkau lihat mereka ruku dan sujud mengharapkan keutamaan dari Allah dan keridhaan-Nya. Terlihat pada wajah-wajah mereka bekas sujud. Demikianlah permisalan mereka di Taurat, dan demikian pula permisalan mereka di Injil. Sebagaimana tanaman yang bersemi kemudian menguat dan kemudian menjadi sangat kuat sehingga tegaklah ia diatas pokoknya, yang mengagumkan orang yang menanamnya, agar Allah membikin orang-orang kafir marah pada mereka. Allah berjanji kepada orang-orang yang beriman dari kalangan mereka itu ampunan dan pahala yang besar.” Dan masih banyak lagi ayat-ayat Al-Qur’an yang menjadi dalil bagi Ahlus Sunnah wal Jama’ah dalam merujuk kepada para shahabat Nabi salallahu alaihi wa sallam dalam memahami Al-Qur’an dan Al-Hadits. Tentunya dalil-dalil dari Al-Qur’an tersebut berdampingan pula dengan puluhan bahkan ratusan hadists shahih yang menerangkan keutamaan shahabat secara keseluruhan ataupun secara individu. Dari hadits-hadits berikut dapat disimpulkan bahwa 1. Kebaikan para shahabat tidak mungkin disamai “Jangan kalian mencerca para shahabatku, seandainya salah seorang dari kalian berinfaq sebesar gunung Uhud, tidaklah ia mencapai ganjarannya satu mudukuran gandum sebanyak dua telapak tangan diraparkan satu dengan lainnya makanan yang dishodaqahkan oleh salah seorang dari mereka dan bahkan tidak pula mencapai setengah mudnya.”HR. Bukhari dan Muslim 2. Para shahabat adalah sebaik-baik generasi dan melahirkan sebaik-baik generasi penerus pula “Dari Imran bin Hushain radhiallahu anhu bahwa Rasulullah salallahu alaihi wa sallam bersabda Sebaik-baik ummatku adalah yang semasa denganku kemudian generasi sesudahnya yakni tabi’in, kemudian generasi yang sesudahnya lagi yakni tabi’it tabi’in. Imran mengatakan Aku tidak tahu apakah Rasulullah menyebutkan sesudah masa beliau itu dua generasi atau tiga.’ Kemudian Rasulullah salallahu alaihi wa sallam bersabda Kemudian sesungguhnya setelah kalian akan datang suatu kaum yang memberi persaksian padahal ia tidak diminta persaksiannya, dan ia suka berkhianat dan tidak bisa dipercaya, dan mereka suka bernadzar dan tidak memenuhi nadzarnya, dan mereka berbadan gemuk yakni gambaran orang-orang yang serakah kepadanya’.”HR Bukhari 3. Para shahabat Nabi salallahu alaihi wa sallam adalah orang-orang pilihan yang diciptakan Allah untuk mendampingi Nabi-Nya “Rasulullah salallahu alaihi wa sallam bersabda Sesungguhnya Allah telah memilih aku dan juga telah memilih bagiku para shahabatku, maka Ia menjadikan bagiku dari mereka itu para pembantu tugasku, dan para pembelaku, dan para menantu dan mertuaku. Maka barang siapa mencerca mereka, maka atasnyalah kutukan Allah dan para malaikat-Nya an segenap manusia. Allah tidak akan menerima di hari Kiamat para pembela mereka yang bisa memalingkan mereka dari adzab Allah.”HR Al-Laalikai dan Hakim, SHAHIH Dan masih banyak lagi hadits-hadits shahih yang menunjukkan betapa tingginya kedudukan para shahabat Nabi salallahu alaihi wa sallam di dalam pandangan Nabi. Maka kalau Allah dan Rasul-Nya di dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits telah memuliakan para shahabat dan menyuruh kita memuliakannya, sudah semestinya kalau Ahlus Sunnah wal Jama’ah menjadikan pemahaman, perkataan, dan pengamalan para shahabat terhadap Al-Qur’an dan Al-Hadits sebagai patokan utama dalam menilai kebenaran pemahamannya. Ahlus sunnah juga sangat senang dan mantap dalam merujuk kepada para shahabat Nabi dalam memahami Al-Qur’an dan Al-Hadits. Dikutip dari Majalah Salafy Edisi Perdana/Syaban/1416 H/1995 H, Rubrik Aqidah, Hal 14-17 ____ ☀ ☀☀☀ Catatan Fr. Orcela 1> APA ITU WAHABI ? 2>MELURUSKAN TUDUHAN MIRING TENTANG WAHHABI aijO0.